Rabu, 21 September 2016

SHARIA AND NATIONAL LAW IN SAUDI ARABIA



SYARI’AH DAN HUKUM NASIONAL DI SAUDI ARABIA

Oleh: Husnun Nahdhiyyah (NIM 15780018)



[Mahasiswa Program Magister Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang]

A.    Sekilas Tentang Negara Saudi Arabia
Arab Saudi adalah negara arab yang terkenal di jazirah arab yang bentuk pemerintahannya adalah monarki absolut, dipimpin oleh seorang raja dari keluarga Saudi. Negara Arab Saudi ini berbatasan langsung dengan Yordania, Irak, Kwait, teluk Persia, Uni Emirat Arab, Oman, Yaman dan Laut Merah.
Pada tanggal 23 September 1932 Abdul Aziz bin Abdurrahman al-Sa’ud memproklamasikan berdirinya kerajaan Arab Saudi atau Saudi Arabia (al-Mamlakah al-‘Arabiyah al-Su’udiyah) dengan menyatukan wilayah Riyadh, Najd, Ha’asir dan Hijaz. Abdul Aziz kemudian menjadi Raja pertama pada kerajaan tersebut, dengan demikian dapat dipahami nama Saudi berasal dari kata nama keluarga Raja Abdul Aziz al-Su’ud.
Berikut ini akan penulis sajikan sejarah singkat Negara Saudi Arabia berdasarkan periode-periodenya:
1.      Sebelum Tahun 1920
Tahir Mahmood mengkategorikan Saudi Arabia pada negara-negara yang menerapkan hukum Islam secara tradisional, di mana hukum Islam tidak beranjak menjadi sebuah peraturan perundang-undangan[1]. Ini tidak dimaknai bahwa Saudi Arabia anti kepada Undang-undang yang bersifat tertulis. Di negara yang hukum perkawinannya masih Uncodified Law, maka hukum perkawinannya didasarkan pada kitab kitab fiqh madzhab yang dianutnya.  Pelaksanaan pernikahan serta hal lain yang terkait seperti talak dan rujuk pada umumnya ditangani oleh para ulama atau institusi keagamaan setempat yang dianggap berwenang mengenai masalah keagamaan umat Islam.
Dengan melihat latar belakang sejarah hukum Islam, wilayah jazirah Arab awalnya menganut mazhab Maliki. Namun sejak perjanjian Amir Muhammad bin Saud dengan Muhammad bin Abdul Wahhab menyebabkan mazhab Hanbali menjadi mazhab resmi di wilayah Saudi Arabia. Oleh karena tidak adanya peraturan perundang-undangan mengenai hukum Islam di Saudi Arabia, maka untuk melacak hukum keluarga haruslah melihat pada referensi fiqh Imam Ahmad bin Hambal.
Pada abad ke 18, situasi berubah seiring dengan menguatnya aliansi politik dan agama antara ulama dan ahli hukum Muhammad Ibn Abd al-Wahab (1703-1793) dan Muhammad Ibn Saud (wafat 1765) di Semenanjung Arab. Muhammad Ibn Saud sebagai penguasa amir) di Dir’iyyah sebuah kota dari utara Riyadh, terletak di Najd, wilayah tengah semenanjung arab. Muhammad Ibn Abd al-Wahab juga berasal dari Najd yang kemudian dipercaya sebagai seorang ulama yang menjawab persoalan-persoalan tentang agama, hukum dan politik. Keduanya bertujuan mendirikan Negara baru yang berdasarkan syariat. Ide-ide Ibnu Abd al-Wahhab membentuk dasar ideologis dari Kerajaan Saudi.  Dia berusaha untuk kembali ke zaman nenek moyang Islam (salaf), Untuk mencapai hal ini, ia menganjurkan penghapusan semua inovasi yang telah mencemari Islam pada abad itu. Dia sangat menentang praktek animisme, Syiah dan Sufi praktek-praktek seperti kunjungan ke kuil dan makam, pada abad kedelapan belas adat istiadat dan ritual begitu umum di Saudi dan lainnya[2]. Pemikiran Abd al-Wahhab juga berdasarkan karya-karya ulama salaf yang dikemukakan oleh dua sarjana hukum yaitu Ahmad Ibn Hanbal (780-855) Pendiri madzhab Hanbali dan Ibn Taimiyah (1263-1328) salah satu ulama yang paling menonjol di madzhab tersebut. Hanbali adalah ulama yang menekankan ketergantungan ketat pada al-Qur’an dan sunnah (ajaran dan tradisi Nabi Muhammad SAW) sebagai sumber hukum. Berbeda dengan madzhab hukum lainnya yang menggunakan Ijma’ dan analogis penalaran (qiyas) sebagai metode penemuan hukumnya.
Saudi Arabia bermula sejak abad ke dua belas Hijriyah atau abad ke delapan belas Masehi. Ketika itu, di jantung Jazirah Arabia, tepatnya di wilayah Najd yang secara historis sangat terkenal, lahirlah Negara Saudi yang pertama yang didirikan oleh Imam Muhammad bin Saud di Ad-Dir'iyah, terletak di sebelah Barat Laut kota Riyadh pada tahun 1175 H./1744 M., dan meliputi hampir sebagian besar wilayah Jazirah Arabia. Periode awal Negara Saudi Arabia ini berakhir pada tahun 1233 H./1818 M.
Setelah kematian penggantinya dan anaknya Faisal pada tahun 1865, rezim Saudi menderita perselisihan internal dan perang saudara. Situasi ini berlangsung sampai dekade pertama abad kedua puluh, ketika pangeran Saudi Abdul aziz al-Saud, yang biasa disebut sebagai Ibn Saud (1880-1953) mampu menyatukan kembali berbagai suku dari jazirah Arab di bawah aturan Saudi. Pada tahun 1902, ia mengalahkan saingan marga Al-Rashid dan di tahun-tahun berikutnya dia menaklukkan Najd, dan pada tahun 1925 ia menaklukan Hijaz[3].

2.      Periode dari Tahun 1920 Sampai Tahun 1965
Setelah perang dunia pertama, Timur tengah berubah drastis. King Abdul Aziz menghadapi kesulitan dalam bertugas, Ia harus meyakinkan dunia Islam bahwa aturan Wahabinya tidak akan membahayakan kota-kota suci Mekkah dan Madinah atau tradisi Haji. Pada tanggal 8 Januari 1926 Abdul Aziz dinobatkan menjadi Raja (Malik) di Hijaz dan jabatannya bertambah menjadi Sultan Najd yang dependensi. Raja yang baru menyatakan bahwa Syariah adalah hukum tanah, maka hukum empat madzhab sunni pantas menghormati. Pada tahun yang sama diumumkan sebuah aturan/konstitusi untuk Hijaz (the Basic Directives of the Kingdom of Hijaz) yang menyatakan bahwa Hijaz menjadi Negara Islam konsultatif, hal ini memungkinkan untuk pembentukan dewan konsultatif (Majlis al-Syura) dan Dewan Deputi (majlis al-Wukala) umtuk terlibat dalam kebijakan Negara masing-masing membuat Badan Perwakilan dan Administrasi[4].
Dewan Konsultatif diperintahkan untuk mengembangkan organisasi peradilan baru untuk Hijaz. Ketika Abdul Aziz menaklukan Hijaz pada Tahun 1925, ia menemukan sebuah organisasi peradilan yang dipengaruhi oleh Ottoman, sedangkan madzhab Hanafi adalah mazhab resmi kekaisaran Ottoman. Organisasi peradilan itu didirikan di Hijaz meskipun sebagian besar masyarakat Hijaz mengikuti mazhab Syafi’i. Ottoman tersebut telah menerapkan pengadilan Syariah, yang terdiri dari satu Hakim ketua HAnafi dan tiga asisten hakim dari masing-masing mazhab. Raja mengeluarkan keputusan yang menyatakan bahwa aturan hukum Ottoman akan tetap efektif dan sampai mereka digantikan oleh aturan baru, namun banyak ulama yang menolak keputusan ini. Pada sebuah konferensi yag diadakan di Mekkah pada tahun yang sama, mereka mengeluarkan pendapat hukum (fatwa) dimana mereka menuntut pembatalan langsung terhadap hukum buatan manusia yang berlaku di Hijaz dan berpendapat bahwa hanya ketentuan syariah yang harus diterapkan[5]. Sistem hukum ini awalnya hanya diterapkan pada Hijaz, tapi antara tahun 1957 dan 1960 sistem ini diterapkan di seluruh negeri.
Pada awal 1920 an seluruh mazhab Sunni bergabung di seluruh semenanjung Arab. Di Najd Hukum yang berlaku berdasarkan mazhab Hanbali, sedangkan Hukum di Hijaz  berdasarkan dominan dua mazhab yaitu Syafi’I dan Hanafi.  Kemudian pada tahun 1927, akibat perlawanan yang kuat dari mazhab Hanbali semua hakim syariah di Hijaz diperintahkan untuk menerapkan fiqh Hanbali (hukum Islam). kecuali ketika mazhab hukum ini tidak bisa memberikan jawaban untuk pertanyaan tertentu, maka boleh mengacu pada salah satu mazhab hukum Hanafi, Syafi'i, atau Maliki.
Pada tahun 1938, minyak ditemukan di semenanjung, yang telah lama menjadi daerah miskin. Ahirnya setelah perang dunia kedua, Negara cepat berubah menjadi bangsa yang makmur. Di beberapa daerah, undang-undang baru diundangkan untuk mengikuti perkembangan ekonomi dan untuk memajukan transformasi Arab Saudi menjadi negara-bangsa modern. Menurut doktrin Wahhabi, berdasarkan teori Ibn Taymiyyah,
penguasa yang kompeten
dalam menyebarluaskan peraturan yang diperlukan untuk kebijakan pemerintah (siyasah shar'iyyah), peraturan tersebut tidak boleh bertentangan dengan syariah dan disediakan untuk kepentingan umum. Dalam modernisasi Undang-undang Arab Saudi itu disebut dekrit kerajaan atau nidzam. Perlu diketahui kata nidzam sengaja digunakan berbeda dengan qanun untuk merujuk pada kodifikasi hukum buatan manusia. Selain itu istilah otoritas digunakan sebagai pengganti kata kekuasaan legislatif.
Dari pemaparan di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa Arab Saudi menegakkan syariah Islam dengan menolak adanya perundang-undangan atau modifikasi hukum karena hal tersebut merupakan undang-undang baru buatan manusia sedangkan menurut pemikiran mereka satu-satunya legislatif/ kekuasaan hanya milik Tuhan.
Muhammad Amin Suma dalam bukunya juga menjelaskan bahwa sejak tahun 1950-an, dekrit kerajaan telah mengesahkan sejumlah peraturan yang meliputi berbagai segi kehidupan. Misalnya perdagangan, kebangsaan, pemalsuan, penyuapan, pertambangan, perubahan dan tenaga kerja, jaminan sosial dan pertahanan sipil[6]. Pengadilan khusus yang dibuat Raja untuk hukum perburuhan dan hukum dagang terdiri dari beberapa komite, diantaranya adalah Tarif komite (1953), Komite untuk perselisihan comersial Paper (1963), dan Komite untuk penyelesaian perselisihan perburuhan (1969). Raja terpaksa membuat pengadilan khusus ini karena ulama menentang undang-undang baru buatan manusia dan hakim syariah menolak untuk menerapkannya.
Lembaga yudisial baru yang paling penting adalah pengadilan administratif atau disebut juga Board of Grievances' yang diciptakan pada tahun 1955[7]. Dewan ini mendengar dan menyelidiki keluhan yang diajukan oleh warga Arab terhadap pemerintah, pejabat dan lembaga; langsung dilaporkan dan menyarankan raja yang harus mengambil keputusan akhir tentang keluhan. Awalnya, Dewan itu juga berwenang untuk menyelidiki keluhan terhadap hakim pengadilan syariah.
King Abdul Aziz meninggal pada tahun 1953 dan kemudian digantikan oleh anaknya Saud (1953-1964). Tidak seperti ayahnya, Raja Saud tidak bekompeten menjadi kepala negara. gaya hidup mewah nya menyebabkan kerajaan masuk ke jurang kebangkrutan. Dengan beberapa perubahan, sistem hukum Hijaz sekarang berlaku untuk seluruh kerajaan. Presiden tetap bertanggung jawab untuk urusan agama dan hukum,
seperti penerbitan fatwa, pengawasan pendidikan agama, dan
penunjukan orang dalam posisi
penting agama, sampai berhenti
ada tahun 1975
. Pada tahun 1964, atas inisiatif keluarga, Raja Saud digantikan oleh Pangeran Faisal, yang membuktikan dirinya sebagai seorang negarawan yang lebih mampu dan Politisi dari pendahulunya[8].

3.      Periode dari Tahun 1965 sampai Tahun 1985
Raja Faisal dari tahun 1959 sampai 1960 berusaha serius untuk menciptakan sebuah konstitusi baru Saudi Arabia, tetapi belum berhasil. Dalam masa pemerintahannya (1964-1975), Faisal banyak melakukan perubahan, antara lain mendirikan Kementerian Kehakiman (Wizarah al-‘Adl) pada tahun 1970 sebagai induk kekuasaan yudikatif.
Raja Faisal memperkenalkan serangkaian reformasi yang luas, di berbagai bidang seperti keuangan, pendidikan, perawatan kesehatan dan sistem hukum. Dari tahun 1970 sampai 1975 sistem pengadilan nasional dikembangkan lebih lanjut dan diformalkan dalam Peraturan Peradilan tahun 1975. ‘Presidency of the Judiciary' tidak ada lagi, tugasnya diserahkan untuk lembaga baru, di antaranya adalah: Dewan Peradilan Tertinggi, Dewan Senior Ulama, dan Departemen Kehakiman (didirikan pada 1970).
Peraturan Yudikatif (1975) memberikan kewenangan umum pada
pengadilan syariah untuk mengadili semua sengketa perdata dan pidana, kecuali di
bidang hukum di mana komite khusus yang lebih berkompeten. Pada tahun 1971, Raja Faisal juga mendirikan Dewan Senior 'Ulama dengan
tugas utama yaitu memberikan saran kepada raja dan pemerintahannya.
Dewan
itu telah memainkan peran penting dalam pengembangan kebijakan pemerintahan saat itu[9].
Di samping modernisasi ini, Arab Saudi mempertahankan posisinya sebagai wali Islam. Raja Faisal menyatakan bahwa konstitusi itu tidak perlu karena Saudi Arabia memiliki al-Qur’an yang merupakan tertua dan konstitusi yang paling tertua di dunia.
Raja Faisal dibunuh oleh salah satu keponakannya pada tahun 1975, ia digantikan oleh adiknya Khalid. Dalam masa pemerintahan Raja Khalid ibn ‘Abd al-‘Aziz (1975-1982), pengganti Faisal juga ada upaya untuk membuat sebuah konstitusi baru. Ia adalah penguasa berpengalaman dan mendelegasikan banyak kekuatan untuk Pangeran Mahkota Fahd. Pada 1970-an Arab Saudi melonjak ke ketinggian yang besar. Modernisasi di bidang pendidikan dan kesehatan meningkatkan kehidupan banyak masyarakat Saudi. Hal ini tidak bisa menangkal munculnya Islam radikal muda. Sehingga pada 20 November 1979, lima ratus pembangkang yang dipimpin oleh Juhaiman al-Utaybi menyerang Masjid Suci di Mekkah. Dua minggu kemudian pada tanggal 5 Desember 1979, para penyerang
akhirnya dikuasai kemudian dieksekusi[10].
Pada bulan Juni 1982, Raja Khalid meninggal karena serangan jantung, ia digantikan oleh saudaranya Fahd yang kemudian ditambahkan julukannya sebagai 'Penjaga Dua Masjid Suci ' pada namanya.

4.      Periode dari Tahun 1985 Sampai Sekarang
Melalui berbagai musyawarah, Raja Fahd ibn ‘Abd al-Aziz (1982-2005) melanjutkan upaya pembaharuan konstitusi. Fahd pada tanggal 27 Sya’ban 1412 H menerbitkan al-Marsum al-Malaki (Titah Raja) No. A/90 Tentang Basic Law of Government yang terdiri dari sembilan bab dan 83 pasal. Kedelapan Bab tersebut adalah mengenai (1) Prinsip-Prinsip Umum, (2) Sistem Pemerintahan, (3) Nilai-Nilai Masyarakat Saudi, (4) Prinsip-Prinsip Ekonomi, (5) Hak dan Kewajiban, (6) Kekuasaan Negara, (7) Urusan Keuangan, (8) Lembaga Audit, dan (9) Penutup.
Basic Law of Government tak ubahnya sebuah konstitusi. Pasal 1 Bab I menyatakan: “Kerajaan Saudi Arabia adalah sebuah Negara Islam berdaulat. Agamanya Islam. Konstitusinya adalah Kitab Allah, al-Qur’an al-Karim, dan Sunnah Nabi Muhammad Saw Bahasa Arab adalah bahasa Kerajaan[11]. Kota Riyadh menjadi ibu kota negara.
Pada tahun 1990, sekelompok pengusaha, akademisi, dan wartawan diserahkan petisi untuk reformasi politik. Mereka meminta pembentukan dewan konsultatif baru, kesetaraan di antara semua warga negara, kebebasan lebih dari tekanan, dan peningkatan posisi perempuan.
Menghadapi tekanan domestik untuk perubahan, Raja Fahd merasa terdorong untuk memperkenalkan reformasi politik. Pada tanggal 1 Maret 1992 ia mengundangkan Dasar Ordonansi Kerajaan Arab Saudi (Basic Ordinance of the Kingdom of Saudi Arabia), Ordonansi Dewan Konsultatif (the Ordinance of the Consultative Council), dan Ordonansi Provinces (the Ordinance of the Provinces). Meskipun demikian, Ordonansi Dasar memenuhi permintaan pemohon untuk Dewan konsultatif baru (majlis al-syura), menggantikan salah satu yang didirikan pada tahun 1926. Pada tahun 1992 Dewan Konsultatif berhak untuk meletakkan peraturan bawah dan peraturan untuk memenuhi kepentingan umum, sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam.
Ketika pada 1 Agustus 2005 Raja Fahd akhirnya meninggal, Abdullah secara resmi menggantikannya sebagai raja[12]. Pada tahun 2003, ia mendirikan 'King Abdul Aziz Pusat Nasional Dialog ', sebuah lembaga yang bertugas sebagai organisasi konferensi nasional di mana para pemimpin agama dari sekte Islam, akademisi, dan tokoh terkemuka lainnya bisa membahas berbagai topik kontemporer. Dalam waktu dua tahun pertama operasi, lembaga ini diselenggarakan lima sesi dialog nasional, di mana konferensi itu terbuka dan masalah yang dibahas terkait dengan reformasi di bidang pendidikan, pluralisme agama, peran perempuan dalam Islam modern, dan partisipasi warga terhadap politik.
Sejalan dengan kebijakan reformasi, pemerintah berwenang dalam pembentukan dua organisasi hak asasi manusia Saudi, pada tahun 2004 dan 2005 diantaranya adalah[13]:
1)   Perhimpunan Nasional Hak Asasi Manusia (NSHR), sebuah organisasi yang didanai pemerintah, NSHR telah sederhana aktif dalam mengejar laporan dan keluhan tentang pelanggaran hak asasi manusia.
2)   Komisi Hak Asasi Manusia (HRC), sebuah badan pemerintah resmi.
Pada bulan Oktober 2007 Raja Abdullah mengeluarkan dua keputusan kerajaan dan mengumumkan reformasi peradilan, sebuah Peraturan Kehakiman baru dan Dewan Peraturan Keluhan baru. peraturan tersebut di pengadilan masih sepenuhnya dimasukkan ke dalam tempat pada saat penulisan dan mengumumkan pembentukan Mahkamah Agung dan pengadilan terpisah untuk hukum keluarga, pidana, tenaga kerja, dan kasus komersial. Sesuai dengan reformasi, Mahkamah Agung adalah untuk mengambil alih fungsi peradilan Dewan Pengadilan Tertinggi. Peraturan Dewan Keluhan yang baru menyediakan penjabaran lebih lanjut dari organisasi Dewan, termasuk penciptaan Administrasi Dewan Yudisial dan Administrasi Mahkamah Agung. sistem peradilan baru itu akan dilaksanakan selama masa transisi dari dua sampai tiga tahun.
Setelah penulis mengetahui sejarah singkat reformasi hukum di Saudi Arabia, dapat diambil kesimpulan bahwa Saudi Arabia termasuk Negara yang sangat kental dengan mazhab yang dianutnya. Tetap pendiriannya untuk tidak merubah hukum yang sudah sesuai dengan syariah Islam yaitu berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW dengan berpegang pada mazhab Hambali. Arab Saudi menegakkan syariah Islam dengan menolak adanya perundang-undangan atau modifikasi hukum karena hal tersebut merupakan undang-undang baru buatan manusia sedangkan menurut pemikiran mereka satu-satunya legislatif/ kekuasaan hanya milik Tuhan semata.

B.     Hukum Keluarga Islam di Saudi Arabia
Dalam buku “Muslim Family Law Reform”, Taheer Mahmoud juga menyatakan adanya tiga kelompok Negara-negara muslim terkait dengan penerapan hukum keluarganya, yaitu:
1)      Negara-negara yang menerapkan hukum keluarga dan hukum perkawinan dari berbagai mazhab yang dianutnya, dan belum diubah;
2)      Negara-negara yang telah mengubah total hukum keluarga dan hukum perkawinannya dengan hukum modern, tanpa mengindahkan agama mereka;
3)      Negara-negara yang menerapkan hukum keluarga dan perkawinan Islam yang telah direformasi dengan berbagai proses legislasi modern[14].
Saudi Arabia termasuk kelompok pertama yang menerapkan hukum tradisional dari mazbah-mazhab yang dianutnya. Negara Saudi Arabia menganut mazbah Hambali. Hukum keluarga Islam didasarkan kepada al-Qur’an, sunnah, dan teladan dari para sahabat rasulullah. Dalam hal ini Saudi Arabia hukum perkawinannya sesuai dengan madzhab Hambali, yaitu pelaksanaan pernikahan serta hal-hal lain yang terkait dengannya seperti halnya talak dan Rujuk pada umumnya ditangani oleh para Ulama atau institusi keagamaan setempat yang dianggap berwenang dalam menangani masalah keagamaan umat Islam.
Hukum keluarga Islam di Saudi Arabia tidak dikodifikasikan atau disusun dalam undang-undang. Semua kasus yang menyangkut perkawinan, perceraian, warisan dan  hak asuh anak dibawah yurisdiksi umum pengadilan syariah. Sebagian besar Hakim pengadilan merujuk pada buku-buku fiqih Hanbali dalam mengadili dan memutuskan perkara. Mereka juga bisa merujuk pada buku fiqih lainnya. Berikut ketentuan-ketentuan dalam aturan Negara Saudi Arabia mengenai Hukum Keluarga Islam:
1.      Pernikahan
Dalam hal pernikahan, beberapa yang akan diulas oleh penulis yaitu mengenai perjanjian pernikahan, perwalian pernikahan, usia pernikahan, dan poligami.
Meskipun hukum madzhab Hanbali dianggap paling konservatif dari madzhab hukum lainnya, tetapi hal ini tidak berlaku untuk ketentuan perjanjian pernikahan. Berbeda dengan mazhab lain, Fiqh klasik Hanbali memberikan kelonggaran yang cukup terhadap validasi dan penegakan ketentuan dalam perjanjian pernikahan[15].
Seorang wanita diperbolehkan untuk mengajukan syarat/perjanjian pernikahannnya selama tidak melanggar ajaran islam. Dia kemudian berhak atas suatu "perceraian bersyarat" jika salah satu dari persyaratan tersebut tidak dipenuhi oleh suaminya. Hasil dari perceraian tersebut dianggap final dan seorang suami tidak boleh  kembali kepada istrinya selama tiga bulan masa 'iddah. Selama waktu ini pasangan dapat merevisi keputusan mereka dan dapat menghidupkan kembali perkawinan mereka jika mereka telah menyelesaikan perbedaan atau perselisihan diantara mereka.
Semua Ulama sepakat bahwa semua perjanjian dalam perkawinan adalah sah, dan pelanggaran terhadap perjanjian tersebut berarti membatalkan kesepakatan. Syekh Abdullah al-Manii, anggota Dewan Ulama Senior Saudi, mengatakan bahwa seorang wanita sah menceraikan suaminya setelah sang seuami melanggar syarat dalam perjanjian perkawinan mereka yang salah satu poinnya adalah bahwa suaminya itu tidak akan menikah dengan wanita lain selama mereka masih bersama.
Mengenai perwalian dalam pernikahan, kalau kita merujuk kepada Madzhab Hambali, maka Wali dalam mazhab Hambali hukumnya wajib, bahkan pernikahan dianggap tidak sah tanpa adanya wali. Seorang perempuan tidak dapat menikahkan dirinya sendiri baik atas izin walinya ataupun tidak, demikian pula seorang perempuan tidak dapat menikahkan untuk perempuan yang lainnya baik atas izin walinya ataupun tidak. Pernikahan tersebut hukumnya fasid, kalaupun terlanjur pernikahan yang akadnya dilakukan oleh pengantin perempuan sendiri, pernikahannya harus dipisahkan. Namun dalam hal hukuman, mengingat pernikahan tersebut menjadi wacana perdebatan sehingga tidak ada hukuman bagi pelaku pernikahan tersebut. Wali berurutan dari ayah, kakek kemudian saudara. Pernikahan oleh wali yang lebih jauh, sedangkan wali yang lebih dekat masih ada, menyebabkan pernikahannya batal.
Ibnu Qudamah dari Madzhab Hambali menyatakan, wali harus ada dalam perkawinan (rukun nikah), yakni harus hadir ketika melakukan akad nikah. Menurutnya hadits yang mengharuskan adanya wali bersifat umum yang berarti berlaku untuk semua. Sedangkan hadits yang menyebutkan hanya butuh izin adalah hadits yang bersifat khusus. Sehingga yang umum harus didahulukan dari dalil khusus. Ibnu Qudamah berpendapat adanya hak ijbar wali untuk menikahkan gadis yang belum dewasa, baik wanita tersebut senang atau tidak, dengan syarat sekufu. Sedangkan menurut Ibnu Qayyim, persetujuan wanita harus ada dalam perkawinan[16].
Pada bulan April 2005, Mufti Abdul aziz al-Syaikh menyatakan bahwa pernikahan paksa adalah pelanggaran terhadap syariah dan orang-orang yang bersalah dari pelanggaran ini harus dihukum dengan hukuman penjara. Menurutnya, kawin paksa merupakan faktor tingkat perceraian di negara ini terus meningkat.[17] Factor tersebut yang kemudian dikeluarkannya fatwa larangan kawin paksa.
Saudi Arabia tidak memiliki hukum khusus untuk mengatasi masalah Usia pernikahan. Karena di Negara ini tidak di tetapkannya Undang-Undang mengenai batasan minimal usia pernikahan, yang diterapkan hanyalah hukum fikih yang sebenarnya yaitu seseseorang dapat menikah kapanpun asalkan telah cukup memenuhi syarat dalam madzhab yang dianutnya, dimana mayaoritas mereka bermadzhab Imam Hanbali. Pembatasan demikian tidak ditemukan aturannya baik dalam Al-Quran, al-Hadist maupun kitab-kitab Fiqih. Hanya saja para ulama mazhab sepakat bahwa baligh merupakan salah satu syarat bolehnya perkawinan. Imam Malik menetapkan umur 17 tahun baik bagi laki-laki maupun perempuan untuk dikategorikan baligh, sementara syafi’I dan hanbali menentukan umur 15 tahun, sedangkan Hanafi yang membedakan batas usia umur baligh bagi keduanya, yakni laki-laki 18 tahun sedangkan permpuan 17 tahun. Batasan ini merupakan batasan maksimal, sedangkan batasan minimal adalah laki-laki 15 tahun dan perempuan 9 tahun, dengan alasan bahwa pada umur itu ada laki-laki yang sudah mengeluarkan sperma dan ada perempuan yang sudah haid sehingga bisa hamil.[18]
Begitu pula dengan masalah poligami, Saudi Arabia tidak memiliki hukum khusus untuk mengatasi masalah ini. Tidak ada batasan atapun tata cara yang khusus mengenai prosedur yang harusnya dilakukan bagi para suami yang ingin berpoligami. Poligami diperbolehkan untuk pria tetapi terbatas pada empat istri pada satu waktu. Bahwa praktek  poligami telah meningkat, khususnya di kalangan yang berpendidikan, sebagai akibat dari kekayaan minyak. Pemerintah telah mempromosikan poligami sebagai bagian dari mengembalikan nilai-nilai Islam. Pada tahun 2001, Grand Mufti (otoritas agama tertinggi) mengeluarkan fatwa atau pendapat, menyerukan kepada wanita Saudi untuk menerima poligami sebagai bagian dari paket Islam dan menyatakan bahwa poligami itu diperlukan untuk melawan pertumbuhan epidemi perawan tua. Tidak ada usia minimum untuk menikah di Arab Saudi dan Grand Mufti dilaporkan mengatakan pada tahun 2009 bahwa anak perempuan dari usia 10 atau 12 yang menikah.
2.      Perceraian
Pria memiliki hak unlilateral untuk menceraikan istri mereka tanpa perlu dasar hukum. Istri bercerai dapat menuntut nafkah untuk jangka waktu empat bulan dan sepuluh hari sesudahnya. Seorang wanita hanya dapat memperoleh perceraian dengan persetujuan dari suaminya atau secara hukum jika suaminya telah merugikan dirinya. Dalam praktek, sangat sulit bagi seorang wanita Saudi untuk mendapatkan perceraian di pengadilan. Tingkat perceraian tinggi,  sampai 50%. Dalam hal perceraian, ayah memiliki hak asuh anak otomatis. Hak bagi pria untuk menikah hingga empat istri, hal tersebut sesuai dengan kemampuan mereka. Mereka berhak untuk menceraikan istri kapan saja tanpa sebab, bisa disebut dengan poligami terbatas. Raja Abdul Aziz seorang pendiri negara, dilaporkan dilaporkan bahwa ia menikah lebih dari dua ratus perempuan. Namun, poligami nya bahkan dianggap luar biasa oleh standar Arab Saudi.
3.      Hak Asuh Anak dan Perwalian
Pihak ayah adalah pihak yang memegang hak utama dalam kasus perceraian. Meskipun begitu, hakim dapat mempertimbangkan kesehatan orang tua dalam pemberian perwalian, apabila seorang ayah yang ditunjuk untuk menjadi orang tua yang mendapatkan perwalian anak sedang dalam kondisi yang tidak sehat, maka kakek dan nenek dari pihak ayah adalah yang diserahi tanggung jawab atas anak tersebut.

4.      Kewarisan
Saudi Arabia yang pada tahun 1966 membentuk Departemen Wakaf. Departemen ini memiliki tugas utama untuk menangani berbagai hal yang berhubungan dengan wakaf. Seperti membuat perencanaan, pengembangan wakaf, dan memelihara serta mengawasi kelanggengan aset-aset wakaf dengan menyusun laporan lengkap dan rinci kepada pihak Kerajaan Saudi[19]. Saudi Arabia termasuk ke dalam Negara yang tidak menjadikan hukum kewarisannya ke dalam undang-undang akan tetapi mereka mengatasi masalah waris mengacu kepada Al-Quran dan As-Sunnah[20].

C.    Praktek Peradilan
Pasal 48 dari Undang Dasar menentukan bahwa pengadilan yang akan berlaku aturan syariat Islam dalam kasus-kasus yang dibawa ke hadapan mereka, sesuai dengan apa yang ditunjukkan dalam al-Qur'an, Sunnah, dan tata cara ditetapkan oleh Penguasa yang tidak bertentangan dengan al-Qur'an atau Sunnah. Pasal 46 menyebutkan kewenangan hakim dalam pernyataan bahwa pengadilan yang independen. Dasar Ordonansi menegaskan adanya dua cabang yudisial, yaitu: Pengadilan umum syariah dan Dewan Keluhan. tapi komite khusus bersifat pasif di lapangan. Pengadilan syariah diberikan yurisdiksi umum, kecuali perselisihan ini atau kejahatan jatuh di bawah yurisdiksi.  komite khusus yang diciptakan untuk melaksanakan Nizam-nizam berada di luar cabang yudisial, mereka adalah entitas administratif ad hoc termasuk dalam cabang eksekutif. Para ulama sering menentang pembentukan ini komite khusus dan sering menyerukan penggabungan wilayah hukum tersebut ke dalam pengadilan syariah. Namun, karena pengadilan syariah telah jelas menunjukkan mereka tidak ingin menerapkannya.
Menurut Peraturan Kehakiman baru (2007), akan ada tiga tingkat pengadilan syariah semua beroperasi di bawah pengawasan Dewan Peradilan Tertinggi, dalam urutan: contoh pengadilan pertama, diikuti oleh pengadilan banding, dan akhirnya Mahkamah Agung baru. Sejak sistem baru belum sepenuhnya operasional, sistem saat ini akan dijelaskan di bawah, dengan mengacu pada beberapa perubahan penting dibahas di organisasi peradilan baru.
Saat ini, ada tiga tingkatan pengadilan syariah, semua dari mereka jatuh di bawah tanggung jawab Departemen Kehakiman, dalam urutan:
dua jenis pengadilan tingkat pertama (pengadilan ringkasan dan umum
pengadilan), diikuti oleh pengadilan banding, dan akhirnya
Dewan Yudisial Agung. Di pengadilan Singkatnya, hakim tunggal yang kompeten untuk memerintah di kedua sipil dan kasus kriminal.

D.    Kesimpulan
Arab Saudi tidak hanya memiliki sistem hukum yang unik, dibandingkan dengan sistem barat, tetapi juga dibandingkan dengan negara-negara Muslim lainnya. Saudi Arabia masih mengandalkan hukum yang uncodified. Ordonansi dasar kerajaan (1992) menetapkan bahwa al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW merupakan konstitusi Arab Saudi. Sistem pemerintahan Arab Saudi adalah monarki absolut, dipimpin oleh Raja-raja Saud yang semuanya adalah keturunan dari Raja Abdul Aziz al-Saud (wafat 1953). Mereka menempati posisi sebagai gubernur, menteri, militer dan diplomatic di provinsi-provinsi. Sementara hukum yang ditetapkan adalah hukum tanah, pemerintah juga mengeluarkan peraturan penting. Namun Hukum Islam tetap merupakan titik pertama acuan dalam kasus-kasus hukum perdata, pidana, kontrak sipil, property, dan lain sebagainya.
Hakim menjadikan al-Qur’an, sunnah dan buku-buku fiqh sebagai sebagai sumber hukum primer dalam mencari keadilan. Seorang hakim seperti semua ulaam harus berkompeten dalam menafsirkan al-Qur’an dan Sunnah dalam memberikan suatu penilaian dan saran. ulama juga diperkenankan untuk memberikan pendapat mereka tentang penerapan syariah dengan memberikan nasihat hukum (fatwa).
Aliansi abad kedelapan belas antara kepala suku, Muhammad ibn Saud dan ulama Muhammad bin Abd al-Wahhab dari Najd, adalah dorongan awal untuk pembentukan negara Arab Saudi. Ibn Saud memenangkan loyalitas beberapa suku dan bersatu mereka menjadi kekuatan yang kuat; ia sangat dibantu dalam upaya ini dengan ajaran agama Ibn Abd al-Wahhab. Pengikut sekte Wahhabi berusaha untuk kembali ke masa awal Islam melalui ketaatan dan semangat Al-Quran dan Sunnah. Didukung oleh gerakan Wahhabi, Raja Saud menaklukkan sebagian besar semenanjung dan doktrin Wahhabi menjadi dasar ideologis negara di masa depan.
Kekuasaan Saud telah didirikan pada tahun 1926 ketika Abdul aziz
Al-Saud dinobatkan
menjadi raja Hijaz, daerah sekitar Mekah dan Medina. Pada tahun 1932, Najd dan Hijaz disatukan menjadi Kerajaan Arab Saudi. Tradisi Najd memiliki sistem peradilan di mana hakim tunggal diterapkan dengan aturan fiqh Hanbali di bawah pengawasan penguasa lokal. Di Hijaz, mazhab Syafi'i dan Hanafi lebih dominan, memiliki organisasi peradilan yang lebih modern, yang dikembangkan di bawah kekuasaan Ottoman. Butuh waktu sampai 1960, kesatuan sistem pengadilan syariah yang berlaku untuk seluruh negara bisa diimplementasikan. Konservatif ulama sangat kuat, terutama yang dari Najd, tetap tahan terhadap campur tangan negara dalam urusan agama, dan dalam urusan hukum. Inilah sebabnya mengapa Abdulaziz dan penerus harus melanjutkan dengan hati-hati dalam sentralisasi dan mereformasi sistem hukum.
Secara teknis, di bawah syariah klasik, penguasa memiliki wewenang untuk mengumumkan regulasi kebijakan pemerintah (siyasah shar'iyyah), asalkan mereka saling melengkapi, dan tidak bertentangan dengan, syariah dan mereka melayani kepentingan publik. Namun demikian, para ulama juga tetap enggan terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh negara untuk memerintah, dalam urusan tertentu, komersial dan tenaga kerja. Sebagian  ulama menentang peraturan dan hakim syariah menolak untuk menerapkannya. Raja terpaksa membuat komite di daerah khusus untuk menerapkan peraturan baru.
Bersama-sama dengan Dewan Keluhan (the Board of Grievances) tahun 1955 Peradilan administrasi yang berkompeten untuk mendengar keluhan dari warga negara terhadap pemerintah, komersial dan beberapa kasus kriminal yang ditentukan. komite tersebut pada kenyataannya menjadi cabang kedua dari sistem peradilan, meskipun mereka dianggap resmi sebagai bagian dari eksekutif.
Dari tahun 1970 sampai 1975, sistem pengadilan terpadu dikembangkan lebih lanjut. Peraturan Yudikatif (1975) diberikan yurisdiksi umum ke pengadilan syariah untuk memutuskan di semua sengketa perdata dan pidana, kecuali dalam bidang hukum di mana komite khusus yang kompeten. Dewan Peradilan Tertinggi, di bawah kewenangan langsung dari raja, mengambil tempatnya di puncak piramida peradilan, dengan pengadilan banding di Riyadh dan Mekkah, dan pengadilan yang lebih besar dan lebih kecil tersebar di seluruh negara.
Sementara itu posisi ulama, sebagai penasehat kebijakan pemerintah,
selanjutnya dilembagakan pada tahun 1971 dengan berdirinya
Dewan Senior Ulama. Dewan ini telah berhasil diatasi, beberapa upaya reformasi yang dilakukan oleh pemerintah dan liberal Saudi, Misalnya dalam kaitannya dengan peningkatan posisi perempuan.
Standar hidup ditingkatkan untuk Saudi, karena pendapatan minyak melimpah di tahun 1970 an, tidak dapat menangkal suara pembangkang yang berubah terhadap negara, mengklaim bahwa Saud telah kehilangan legitimasi mereka sebagai penguasa yang benar karena gaya hidup mewah dari beberapa pangerannya, korupsi, dan aliansi mereka dengan Barat. pemberontakan internal bertepatan dengan revolusi Iran yang dipimpin oleh Ayatollah Khomeini pada tahun 1979. Rezim Saudi memandang revolusi Syiah dengan kecurigaan dan menanggapi sebagian yang mengintensifkan pekerjaan misionaris Wahhabi luar negeri. Arab Saudi adalah tempat lahirnya Islam dan wali dari dua tempat suci: Mekkah dan Madinah.
Dalam dekade berikutnya, keluarga kerajaan dihadapkan dengan yang tantangan lain, yaitu konsekuensi keuangan dan politiknya Perang Teluk (1990-1991) dan penurunan pendapatan minyak, ketergantungan pada dukungan politik dan militer Amerika Serikat, dan kurangnya partisipasi politik mendorong kritik yang berkembang dalam masyarakat. Dari 1990 dan seterusnya, beberapa kelompok termasuk kaum liberal pro reformasi, tetapi juga Muslim radikal, disampaikan petisi kepada raja meminta politik pembaruan.
Di bawah tekanan domestik dan internasional, Raja Fahd melakukan
beberapa reformasi konstitusi pada tahun 1992. Ia mengumumkan Dasar
Ordonansi Kerajaan, yang menetapkan bahwa al-Qur’an Sunnah Nabi SAW adalah otoritas tertinggi dan semua undang-undang adalah bawahan nya.
Raja Fahd membentuk Dewan Konsultatif baru. Dewan itu dibuat pada tahun 1992 dan sekarang menghitung 150 anggota dari strata sosial yang berbeda, yang diserahkan untuk meletakkan peraturan kepentingan umum dan sesuai dengan syariah. Untuk saat ini, bagaimanapun, Dewan memiliki sedikit kekuasaan yang sebenarnya dan itu belum bisa dilihat sebagai badan parlemen yang lengkap. Islam telah melakukan serangan berdarah terhadap target asing sejak tahun 1990-an, dan berbagai radikal dilarang negara, termasuk Osama Bin Laden.
Sementara itu, proses reformasi hukum terus. Sejak akhir 1990, beberapa undang-undang baru yang diumumkan, termasuk Peraturan Acara Pidana (2001) dan Peraturan Hukum Praktek (2001), yang keduanya bertujuan untuk mengatur proses pidana dan lebih baik menjaga hak-hak prosedural terdakwa. Selagi 1975 organisasi peradilan masih beroperasi, reformasi substansial yang mengumumkan pada musim gugur 2007. 2007 Peraturan Kehakiman Menetapkan sebuah Mahkamah Agung dan tingkat pertama dan banding pengadilan baru yang terdiri dari ruang khusus untuk hukum keluarga, pidana, tenaga kerja, dan masalah-masalah hukum komersial. Setelah sepenuhnya fungsional, Mahkamah Agung  mengambil alih fungsi peradilan Dewan Pengadilan Tertinggi. Sebuah Peraturan baru Dewan Keluhan, juga diumumkan pada tahun 2007, mengumumkan
pembentukan Dewan Pengadilan Administratif dan pengadilan administrasi
banding. Sampai  sekarang dualitas dalam sistem hukum Saudi tampaknya tetap menjadi ciri khas.
Meskipun reformasi hukum telah disambut oleh organisasi-organisasi internasional dan kelompok-kelompok hak asasi manusia, kritik pada situasi hak asasi di Arab Saudi belum mereda. Secara khusus, berikut masalah telah dihasilkan kritik keras baik di dalam negeri dan luar negeri: posisi yang sangat dirugikan perempuan, diskriminasi terhadap minoritas agama dan orang asing, kurangnya kebebasan beragama dan kebebasan berekspresi, penyiksaan di penjara, intimidasi oleh polisi agama, eksekusi hukuman fisik yang kejam seperti pemenggalan, rajam, gantung, amputasi, dan memukul, dan meningkatkan frekuensi penggunaan hukuman mati, pada tahun 2008 sekitar 102 orang dieksekusi.
Arus Raja Abdullah, seperti banyak pemimpin tampaknya akan berjalan garis tipis antara kaum liberal reformis, konservatif, tekanan internasional, kelompok masyarakat sipil, dan para ulama. Dia telah hati-hati membuka partisipasi politik yang lebih. Mengingat bahwa ia harus memperhitungkan dengan ulama konservatif dan kekuatan tradisional dalam keluarga sendiri, antisipasi bahwa Arab Saudi akan bergerak maju dalam
ranah Islam
dan bergerak dengan lambat.

DAFTAR PUSTAKA

Eijk, Esther Van. Sharia and National Law In Saudi Arabia dalam Buku Sharia Incorporated a Comparative Overview Of The Legal Systems Of Twelve  Muslim Countries In Past and Present. Amsterdam: Leiden University,2010.
Mahmood, Tahir. Family law Reform in the Muslim World. Bombay:N.M. TRIPATHI, PVT. LTD.1972.
Muzdhar, M. Attho’ dan Khairuddin Nasution. Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern.  Jakarta: Ciputat Pres, 2003.
Qudamah,  Ibn. Al  Kafi  fiqh  Ahmad ibn Hanbal, kitab nikah, Juz.3,Maktabah Syamilah,Vol. 2.
Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT.Raja Grapindo Persada,2005.



[1]Tahir Mahmood, Family law Reform in the Muslim World, (Bombay:N.M. TRIPATHI, PVT. LTD,1972), h.5.
[2]Esther Van Eijk, Sharia and National Law In Saudi Arabia dalam Buku Sharia Incorporated a Comparative Overview Of The Legal Systems Of Twelve  Muslim Countries In Past and Present, (Amsterdam: Leiden University,2010), h.142.
[3]Esther Van Eijk, Sharia and National Law In Saudi Arabia,.h.143.
[4] Esther Van Eijk, Sharia and National Law In Saudi Arabia,.h.143.
[5]Esther Van Eijk, Sharia and National Law In Saudi Arabia,..h.144.
[6]Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT.Raja Grapindo Persada,2005),h.166
[7]Esther Van Eijk, Sharia and National Law In Saudi Arabia,..h.147.
[8] Esther Van Eijk, Sharia and National Law In Saudi Arabia,..h.148.
[9]Esther Van Eijk, Sharia and National Law In Saudi Arabia,..h.149.
[10]Esther Van Eijk, Sharia and National Law In Saudi Arabia,..h.150.
[11]Esther Van Eijk, Sharia and National Law In Saudi Arabia,..h.152.
[12]Esther Van Eijk, Sharia and National Law In Saudi Arabia,..h.154.
[13]Esther Van Eijk, Sharia and National Law In Saudi Arabia,..h.155.
[14]Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World,h.2-3.
[15]Esther Van Eijk, Sharia and National Law In Saudi Arabia,..h.163.
[16]Ibn Qudamah,  Al  Kafi  fiqh  Ahmad ibn Hanbal, kitab nikah, Juz.3,(Maktabah Syamilah,Vol. 2),h. 9
[17]Esther Van Eijk, Sharia and National Law In Saudi Arabia,..h.164.
[18]M. Attho’ Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Ciputat Pres, 2003), hal. 10.
[19]Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam,h.194.
[20]Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam,h.195.