SYARI’AH
DAN HUKUM NASIONAL DI SAUDI ARABIA
Oleh:
Husnun Nahdhiyyah (NIM 15780018)
[Mahasiswa
Program Magister Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah Pascasarjana Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang]
A.
Sekilas Tentang Negara Saudi Arabia
Arab
Saudi adalah negara arab yang terkenal di jazirah arab yang bentuk
pemerintahannya adalah monarki absolut, dipimpin oleh seorang raja dari
keluarga Saudi. Negara Arab Saudi ini berbatasan langsung dengan Yordania,
Irak, Kwait, teluk Persia, Uni Emirat Arab, Oman, Yaman dan Laut Merah.
Pada
tanggal 23 September 1932 Abdul Aziz bin Abdurrahman al-Sa’ud memproklamasikan
berdirinya kerajaan Arab Saudi atau Saudi Arabia (al-Mamlakah al-‘Arabiyah
al-Su’udiyah) dengan menyatukan wilayah Riyadh, Najd, Ha’asir dan Hijaz.
Abdul Aziz kemudian menjadi Raja pertama pada kerajaan tersebut, dengan
demikian dapat dipahami nama Saudi berasal dari kata nama keluarga Raja Abdul
Aziz al-Su’ud.
Berikut ini
akan penulis sajikan sejarah singkat Negara Saudi Arabia berdasarkan
periode-periodenya:
1.
Sebelum
Tahun 1920
Tahir Mahmood mengkategorikan
Saudi Arabia pada negara-negara yang menerapkan hukum Islam secara tradisional,
di mana hukum Islam tidak beranjak menjadi sebuah peraturan perundang-undangan[1].
Ini tidak
dimaknai bahwa Saudi Arabia anti kepada Undang-undang yang bersifat tertulis.
Di negara yang hukum perkawinannya masih Uncodified Law, maka hukum
perkawinannya didasarkan pada kitab kitab fiqh madzhab yang dianutnya. Pelaksanaan pernikahan serta hal lain yang
terkait seperti talak dan rujuk pada umumnya ditangani oleh para ulama atau
institusi keagamaan setempat yang dianggap berwenang mengenai masalah keagamaan
umat Islam.
Dengan melihat latar belakang sejarah hukum Islam, wilayah jazirah Arab
awalnya menganut mazhab Maliki. Namun sejak perjanjian Amir Muhammad bin Saud
dengan Muhammad bin Abdul Wahhab menyebabkan mazhab Hanbali menjadi mazhab
resmi di wilayah Saudi Arabia. Oleh karena tidak adanya peraturan
perundang-undangan mengenai hukum Islam di Saudi Arabia, maka untuk melacak
hukum keluarga haruslah melihat pada referensi fiqh Imam Ahmad bin Hambal.
Pada abad ke 18, situasi berubah seiring
dengan menguatnya aliansi politik dan agama antara ulama dan ahli hukum
Muhammad Ibn Abd al-Wahab (1703-1793) dan Muhammad Ibn Saud (wafat 1765) di
Semenanjung Arab. Muhammad Ibn Saud sebagai penguasa amir) di Dir’iyyah sebuah
kota dari utara Riyadh, terletak di Najd, wilayah tengah semenanjung arab. Muhammad Ibn Abd al-Wahab juga berasal dari Najd yang kemudian
dipercaya sebagai seorang ulama yang menjawab persoalan-persoalan tentang
agama, hukum dan politik. Keduanya bertujuan mendirikan Negara baru yang
berdasarkan syariat. Ide-ide Ibnu Abd al-Wahhab membentuk dasar ideologis dari Kerajaan Saudi. Dia berusaha untuk kembali ke zaman nenek moyang Islam
(salaf), Untuk mencapai hal ini, ia menganjurkan penghapusan semua inovasi yang telah mencemari Islam pada abad itu. Dia sangat menentang praktek animisme, Syiah dan Sufi
praktek-praktek seperti kunjungan ke kuil dan makam, pada abad kedelapan belas
adat istiadat dan ritual begitu umum di Saudi dan lainnya[2]. Pemikiran Abd al-Wahhab juga berdasarkan
karya-karya ulama salaf yang dikemukakan oleh dua sarjana hukum yaitu Ahmad Ibn
Hanbal (780-855) Pendiri madzhab Hanbali dan Ibn Taimiyah (1263-1328) salah
satu ulama yang paling menonjol di madzhab tersebut. Hanbali adalah ulama yang menekankan ketergantungan ketat pada
al-Qur’an dan sunnah (ajaran dan tradisi Nabi Muhammad SAW) sebagai sumber
hukum. Berbeda dengan madzhab hukum lainnya yang menggunakan Ijma’ dan analogis
penalaran (qiyas) sebagai metode penemuan hukumnya.
Saudi Arabia bermula sejak abad ke dua belas Hijriyah atau abad ke delapan
belas Masehi. Ketika itu, di jantung Jazirah Arabia, tepatnya di wilayah Najd
yang secara historis sangat terkenal, lahirlah Negara Saudi yang pertama yang
didirikan oleh Imam Muhammad bin Saud di Ad-Dir'iyah, terletak di sebelah Barat
Laut kota Riyadh pada tahun 1175 H./1744 M., dan meliputi hampir sebagian besar
wilayah Jazirah Arabia. Periode awal Negara Saudi Arabia ini berakhir pada
tahun 1233 H./1818 M.
Setelah kematian penggantinya dan anaknya
Faisal pada tahun 1865, rezim Saudi menderita perselisihan internal dan perang
saudara. Situasi ini berlangsung sampai dekade pertama abad kedua puluh, ketika
pangeran Saudi Abdul aziz al-Saud, yang biasa disebut sebagai Ibn Saud
(1880-1953) mampu menyatukan kembali berbagai suku dari jazirah Arab di bawah
aturan Saudi. Pada tahun 1902, ia mengalahkan saingan marga Al-Rashid dan di
tahun-tahun berikutnya dia menaklukkan Najd, dan pada tahun 1925 ia menaklukan Hijaz[3].
2.
Periode
dari Tahun 1920 Sampai Tahun 1965
Setelah perang dunia pertama, Timur tengah
berubah drastis. King Abdul Aziz menghadapi kesulitan dalam bertugas, Ia harus
meyakinkan dunia Islam bahwa aturan Wahabinya tidak akan membahayakan kota-kota
suci Mekkah dan Madinah atau tradisi Haji. Pada tanggal 8 Januari 1926 Abdul
Aziz dinobatkan menjadi Raja (Malik) di Hijaz dan jabatannya bertambah menjadi
Sultan Najd yang dependensi. Raja yang baru menyatakan bahwa Syariah adalah
hukum tanah, maka hukum empat madzhab sunni pantas menghormati. Pada tahun yang
sama diumumkan sebuah aturan/konstitusi untuk Hijaz (‘the Basic
Directives of the Kingdom of Hijaz) yang menyatakan bahwa Hijaz menjadi Negara
Islam konsultatif, hal ini memungkinkan untuk pembentukan dewan konsultatif (Majlis
al-Syura) dan Dewan Deputi (majlis al-Wukala) umtuk terlibat dalam
kebijakan Negara masing-masing membuat Badan Perwakilan dan Administrasi[4].
Dewan Konsultatif diperintahkan untuk
mengembangkan organisasi peradilan baru untuk Hijaz. Ketika Abdul Aziz
menaklukan Hijaz pada Tahun 1925, ia menemukan sebuah organisasi peradilan yang
dipengaruhi oleh Ottoman, sedangkan madzhab Hanafi adalah mazhab resmi
kekaisaran Ottoman. Organisasi peradilan itu didirikan di Hijaz meskipun
sebagian besar masyarakat Hijaz mengikuti mazhab Syafi’i. Ottoman tersebut
telah menerapkan pengadilan Syariah, yang terdiri dari satu Hakim ketua HAnafi
dan tiga asisten hakim dari masing-masing mazhab. Raja mengeluarkan keputusan
yang menyatakan bahwa aturan hukum Ottoman akan tetap efektif dan sampai mereka
digantikan oleh aturan baru, namun banyak ulama yang menolak keputusan ini.
Pada sebuah konferensi yag diadakan di Mekkah pada tahun yang sama, mereka
mengeluarkan pendapat hukum (fatwa) dimana mereka menuntut pembatalan langsung
terhadap hukum buatan manusia yang berlaku di Hijaz dan berpendapat bahwa hanya
ketentuan syariah yang harus diterapkan[5].
Sistem hukum ini awalnya hanya diterapkan pada Hijaz, tapi
antara tahun 1957 dan 1960 sistem ini diterapkan di seluruh negeri.
Pada awal 1920 an seluruh mazhab Sunni
bergabung di seluruh semenanjung Arab. Di Najd Hukum yang berlaku berdasarkan
mazhab Hanbali, sedangkan Hukum di Hijaz
berdasarkan dominan dua mazhab yaitu Syafi’I dan Hanafi. Kemudian pada tahun 1927, akibat perlawanan
yang kuat dari mazhab Hanbali semua hakim
syariah di Hijaz diperintahkan untuk menerapkan fiqh Hanbali (hukum Islam). kecuali ketika mazhab hukum ini tidak bisa memberikan jawaban untuk
pertanyaan tertentu, maka boleh
mengacu pada salah satu mazhab hukum Hanafi, Syafi'i, atau Maliki.
Pada tahun 1938, minyak ditemukan di
semenanjung, yang telah lama menjadi daerah miskin.
Ahirnya setelah perang dunia kedua, Negara cepat berubah menjadi bangsa yang
makmur. Di beberapa daerah, undang-undang baru diundangkan untuk mengikuti
perkembangan ekonomi dan untuk memajukan transformasi Arab Saudi menjadi negara-bangsa
modern. Menurut doktrin Wahhabi, berdasarkan teori Ibn
Taymiyyah,
penguasa yang kompeten dalam menyebarluaskan peraturan yang diperlukan untuk kebijakan pemerintah (siyasah shar'iyyah), peraturan tersebut tidak boleh bertentangan dengan syariah dan disediakan untuk kepentingan umum. Dalam modernisasi Undang-undang Arab Saudi itu disebut dekrit kerajaan atau nidzam. Perlu diketahui kata nidzam sengaja digunakan berbeda dengan qanun untuk merujuk pada kodifikasi hukum buatan manusia. Selain itu istilah otoritas digunakan sebagai pengganti kata kekuasaan legislatif.
penguasa yang kompeten dalam menyebarluaskan peraturan yang diperlukan untuk kebijakan pemerintah (siyasah shar'iyyah), peraturan tersebut tidak boleh bertentangan dengan syariah dan disediakan untuk kepentingan umum. Dalam modernisasi Undang-undang Arab Saudi itu disebut dekrit kerajaan atau nidzam. Perlu diketahui kata nidzam sengaja digunakan berbeda dengan qanun untuk merujuk pada kodifikasi hukum buatan manusia. Selain itu istilah otoritas digunakan sebagai pengganti kata kekuasaan legislatif.
Dari
pemaparan di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa Arab Saudi
menegakkan syariah Islam dengan menolak adanya perundang-undangan atau
modifikasi hukum karena hal tersebut merupakan undang-undang baru buatan
manusia sedangkan menurut pemikiran mereka satu-satunya legislatif/ kekuasaan
hanya milik Tuhan.
Muhammad Amin Suma dalam bukunya juga
menjelaskan bahwa sejak tahun 1950-an, dekrit kerajaan telah mengesahkan
sejumlah peraturan yang meliputi berbagai segi kehidupan. Misalnya perdagangan,
kebangsaan, pemalsuan, penyuapan, pertambangan, perubahan dan tenaga kerja,
jaminan sosial dan pertahanan sipil[6].
Pengadilan khusus yang dibuat Raja untuk hukum perburuhan dan hukum dagang
terdiri dari beberapa komite, diantaranya adalah Tarif komite (1953), Komite
untuk perselisihan comersial Paper (1963), dan Komite untuk penyelesaian
perselisihan perburuhan (1969). Raja terpaksa membuat pengadilan khusus ini
karena ulama menentang undang-undang baru buatan manusia dan hakim syariah menolak
untuk menerapkannya.
Lembaga yudisial
baru yang paling penting adalah pengadilan administratif
atau disebut juga ‘Board of Grievances' yang diciptakan pada tahun 1955[7].
Dewan ini mendengar dan menyelidiki keluhan yang diajukan oleh warga Arab
terhadap pemerintah, pejabat dan lembaga; langsung dilaporkan dan
menyarankan raja yang harus mengambil keputusan akhir tentang
keluhan. Awalnya, Dewan itu juga berwenang untuk menyelidiki keluhan
terhadap hakim pengadilan syariah.
King Abdul Aziz meninggal pada tahun 1953 dan kemudian digantikan
oleh anaknya Saud (1953-1964). Tidak seperti ayahnya, Raja Saud tidak bekompeten menjadi kepala negara. gaya hidup mewah nya menyebabkan
kerajaan masuk ke jurang kebangkrutan. Dengan beberapa perubahan, sistem hukum Hijaz sekarang berlaku untuk seluruh kerajaan. Presiden tetap bertanggung jawab untuk urusan agama dan hukum,
seperti penerbitan fatwa, pengawasan pendidikan agama, dan
penunjukan orang dalam posisi penting agama, sampai berhenti
ada tahun 1975. Pada tahun 1964, atas inisiatif keluarga, Raja Saud digantikan oleh Pangeran Faisal, yang membuktikan dirinya sebagai seorang negarawan yang lebih mampu dan Politisi dari pendahulunya[8].
seperti penerbitan fatwa, pengawasan pendidikan agama, dan
penunjukan orang dalam posisi penting agama, sampai berhenti
ada tahun 1975. Pada tahun 1964, atas inisiatif keluarga, Raja Saud digantikan oleh Pangeran Faisal, yang membuktikan dirinya sebagai seorang negarawan yang lebih mampu dan Politisi dari pendahulunya[8].
3.
Periode
dari Tahun 1965 sampai Tahun 1985
Raja Faisal dari tahun 1959 sampai 1960 berusaha serius untuk
menciptakan sebuah konstitusi baru Saudi Arabia, tetapi belum berhasil. Dalam
masa pemerintahannya (1964-1975), Faisal banyak melakukan perubahan, antara
lain mendirikan Kementerian Kehakiman (Wizarah al-‘Adl) pada tahun 1970
sebagai induk kekuasaan yudikatif.
Raja Faisal memperkenalkan serangkaian
reformasi yang luas, di berbagai bidang seperti keuangan, pendidikan, perawatan kesehatan dan sistem hukum. Dari tahun 1970 sampai 1975 sistem pengadilan
nasional dikembangkan lebih lanjut dan diformalkan dalam Peraturan Peradilan tahun 1975. ‘Presidency
of the Judiciary' tidak ada lagi, tugasnya
diserahkan untuk lembaga baru, di antaranya adalah: Dewan Peradilan Tertinggi, Dewan Senior Ulama, dan Departemen Kehakiman
(didirikan pada 1970).
Peraturan Yudikatif (1975) memberikan kewenangan umum pada
pengadilan syariah untuk mengadili semua sengketa perdata dan pidana, kecuali di bidang hukum di mana komite khusus yang lebih berkompeten. Pada tahun 1971, Raja Faisal juga mendirikan Dewan Senior 'Ulama dengan
tugas utama yaitu memberikan saran kepada raja dan pemerintahannya.
Dewan itu telah memainkan peran penting dalam pengembangan kebijakan pemerintahan saat itu[9].
pengadilan syariah untuk mengadili semua sengketa perdata dan pidana, kecuali di bidang hukum di mana komite khusus yang lebih berkompeten. Pada tahun 1971, Raja Faisal juga mendirikan Dewan Senior 'Ulama dengan
tugas utama yaitu memberikan saran kepada raja dan pemerintahannya.
Dewan itu telah memainkan peran penting dalam pengembangan kebijakan pemerintahan saat itu[9].
Di samping modernisasi ini, Arab Saudi mempertahankan posisinya sebagai
wali Islam. Raja Faisal menyatakan bahwa konstitusi itu tidak perlu karena
Saudi Arabia memiliki al-Qur’an yang merupakan tertua dan konstitusi yang
paling tertua di dunia.
Raja Faisal dibunuh oleh salah satu
keponakannya pada tahun 1975, ia digantikan oleh adiknya Khalid. Dalam masa pemerintahan
Raja Khalid ibn ‘Abd al-‘Aziz (1975-1982), pengganti Faisal juga ada upaya
untuk membuat sebuah konstitusi baru. Ia adalah penguasa berpengalaman dan mendelegasikan banyak kekuatan untuk Pangeran
Mahkota Fahd. Pada 1970-an Arab Saudi melonjak ke ketinggian yang besar.
Modernisasi di bidang pendidikan dan kesehatan meningkatkan kehidupan banyak masyarakat Saudi. Hal ini tidak bisa menangkal munculnya Islam radikal
muda. Sehingga pada 20 November 1979, lima ratus pembangkang yang dipimpin
oleh Juhaiman al-Utaybi menyerang Masjid Suci di Mekkah. Dua minggu kemudian pada tanggal 5 Desember 1979, para penyerang
akhirnya dikuasai kemudian dieksekusi[10].
akhirnya dikuasai kemudian dieksekusi[10].
Pada bulan Juni 1982, Raja Khalid meninggal
karena serangan jantung, ia digantikan oleh saudaranya Fahd yang kemudian ditambahkan julukannya sebagai 'Penjaga Dua Masjid Suci ' pada namanya.
4.
Periode
dari Tahun 1985 Sampai Sekarang
Melalui berbagai
musyawarah, Raja Fahd ibn ‘Abd al-Aziz (1982-2005) melanjutkan
upaya pembaharuan konstitusi. Fahd pada tanggal 27 Sya’ban 1412 H menerbitkan al-Marsum
al-Malaki (Titah Raja) No. A/90 Tentang Basic Law of Government
yang terdiri dari sembilan bab dan 83 pasal. Kedelapan Bab tersebut adalah
mengenai (1) Prinsip-Prinsip Umum, (2) Sistem Pemerintahan, (3) Nilai-Nilai
Masyarakat Saudi, (4) Prinsip-Prinsip Ekonomi, (5) Hak dan Kewajiban, (6)
Kekuasaan Negara, (7) Urusan Keuangan, (8) Lembaga Audit, dan (9) Penutup.
Basic Law of
Government
tak ubahnya sebuah konstitusi. Pasal 1 Bab I menyatakan: “Kerajaan Saudi Arabia
adalah sebuah Negara Islam berdaulat. Agamanya Islam. Konstitusinya adalah
Kitab Allah, al-Qur’an al-Karim, dan Sunnah Nabi Muhammad Saw Bahasa Arab
adalah bahasa Kerajaan[11].
Kota Riyadh menjadi ibu kota negara.
Pada tahun 1990, sekelompok pengusaha,
akademisi, dan wartawan diserahkan petisi untuk reformasi politik. Mereka meminta
pembentukan dewan konsultatif baru, kesetaraan di antara semua warga negara,
kebebasan lebih dari tekanan, dan peningkatan posisi perempuan.
Menghadapi tekanan domestik untuk perubahan,
Raja Fahd merasa terdorong untuk memperkenalkan reformasi politik. Pada tanggal
1 Maret 1992 ia mengundangkan Dasar Ordonansi Kerajaan Arab Saudi (Basic Ordinance of the Kingdom of
Saudi Arabia), Ordonansi Dewan Konsultatif (the Ordinance of the Consultative Council), dan Ordonansi Provinces (the Ordinance of the Provinces). Meskipun demikian, Ordonansi Dasar memenuhi permintaan pemohon untuk Dewan konsultatif baru (majlis al-syura),
menggantikan salah satu yang didirikan pada tahun 1926. Pada tahun 1992 Dewan Konsultatif berhak untuk meletakkan peraturan bawah dan peraturan untuk memenuhi kepentingan umum, sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam.
Ketika pada 1 Agustus 2005 Raja Fahd akhirnya
meninggal, Abdullah secara resmi menggantikannya sebagai raja[12].
Pada tahun 2003, ia mendirikan 'King Abdul Aziz Pusat Nasional Dialog ', sebuah lembaga yang bertugas sebagai
organisasi konferensi nasional di mana para
pemimpin agama dari sekte Islam, akademisi, dan tokoh terkemuka lainnya bisa
membahas berbagai topik kontemporer. Dalam waktu dua tahun pertama operasi,
lembaga ini diselenggarakan lima sesi dialog nasional, di mana konferensi itu
terbuka dan masalah yang dibahas terkait dengan reformasi di bidang pendidikan,
pluralisme agama, peran perempuan dalam Islam modern, dan
partisipasi warga terhadap politik.
Sejalan dengan kebijakan reformasi, pemerintah
berwenang dalam pembentukan dua organisasi hak asasi manusia
Saudi, pada tahun 2004 dan 2005 diantaranya
adalah[13]:
1)
Perhimpunan Nasional Hak Asasi Manusia (NSHR),
sebuah organisasi yang didanai pemerintah, NSHR telah sederhana aktif dalam mengejar laporan dan keluhan tentang pelanggaran hak asasi manusia.
2)
Komisi Hak Asasi Manusia (HRC), sebuah badan pemerintah resmi.
Pada
bulan Oktober 2007 Raja Abdullah mengeluarkan dua keputusan kerajaan dan mengumumkan reformasi peradilan, sebuah Peraturan Kehakiman baru dan Dewan Peraturan Keluhan baru. peraturan tersebut di pengadilan masih sepenuhnya dimasukkan ke
dalam tempat pada saat penulisan dan
mengumumkan pembentukan Mahkamah Agung dan pengadilan terpisah untuk hukum keluarga, pidana, tenaga kerja, dan kasus komersial. Sesuai dengan reformasi, Mahkamah Agung adalah
untuk mengambil alih fungsi peradilan Dewan Pengadilan Tertinggi. Peraturan Dewan Keluhan yang baru menyediakan penjabaran lebih lanjut
dari organisasi Dewan, termasuk penciptaan
Administrasi Dewan Yudisial dan Administrasi Mahkamah Agung. sistem peradilan baru itu akan dilaksanakan selama masa transisi dari dua sampai tiga tahun.
Setelah
penulis mengetahui sejarah singkat reformasi hukum di Saudi Arabia, dapat
diambil kesimpulan bahwa Saudi Arabia termasuk Negara yang sangat kental dengan
mazhab yang dianutnya. Tetap pendiriannya untuk tidak merubah hukum yang sudah
sesuai dengan syariah Islam yaitu berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Nabi
Muhammad SAW dengan berpegang pada mazhab Hambali. Arab Saudi menegakkan
syariah Islam dengan menolak adanya perundang-undangan atau modifikasi hukum
karena hal tersebut merupakan undang-undang baru buatan manusia sedangkan
menurut pemikiran mereka satu-satunya legislatif/ kekuasaan hanya milik Tuhan
semata.
B.
Hukum Keluarga Islam di Saudi Arabia
Dalam
buku “Muslim Family Law Reform”, Taheer Mahmoud juga menyatakan adanya tiga
kelompok Negara-negara muslim terkait dengan penerapan hukum keluarganya,
yaitu:
1)
Negara-negara yang menerapkan hukum keluarga
dan hukum perkawinan dari berbagai mazhab yang dianutnya, dan belum diubah;
2)
Negara-negara yang telah mengubah total hukum
keluarga dan hukum perkawinannya dengan hukum modern, tanpa mengindahkan agama
mereka;
3)
Negara-negara yang menerapkan hukum keluarga
dan perkawinan Islam yang telah direformasi dengan berbagai proses legislasi modern[14].
Saudi Arabia
termasuk kelompok pertama yang menerapkan hukum tradisional dari mazbah-mazhab
yang dianutnya. Negara Saudi Arabia menganut mazbah Hambali. Hukum keluarga
Islam didasarkan kepada al-Qur’an, sunnah, dan teladan dari para sahabat
rasulullah. Dalam hal ini Saudi Arabia hukum perkawinannya sesuai dengan
madzhab Hambali, yaitu pelaksanaan pernikahan serta hal-hal lain yang terkait
dengannya seperti halnya talak dan Rujuk pada umumnya ditangani oleh para Ulama
atau institusi keagamaan setempat yang dianggap berwenang dalam menangani
masalah keagamaan umat Islam.
Hukum keluarga Islam di Saudi Arabia tidak dikodifikasikan atau
disusun dalam undang-undang. Semua kasus yang menyangkut perkawinan,
perceraian, warisan dan hak asuh anak
dibawah yurisdiksi umum pengadilan syariah. Sebagian besar Hakim pengadilan
merujuk pada buku-buku fiqih Hanbali dalam mengadili dan memutuskan perkara.
Mereka juga bisa merujuk pada buku fiqih lainnya. Berikut ketentuan-ketentuan
dalam aturan Negara Saudi Arabia mengenai Hukum Keluarga Islam:
1.
Pernikahan
Dalam
hal pernikahan, beberapa yang akan diulas oleh penulis yaitu mengenai
perjanjian pernikahan, perwalian pernikahan, usia pernikahan, dan poligami.
Meskipun hukum madzhab Hanbali
dianggap paling konservatif dari madzhab hukum lainnya, tetapi hal ini tidak
berlaku untuk ketentuan perjanjian pernikahan. Berbeda dengan mazhab lain, Fiqh
klasik Hanbali memberikan kelonggaran yang cukup terhadap validasi dan
penegakan ketentuan dalam perjanjian pernikahan[15].
Seorang
wanita diperbolehkan untuk mengajukan syarat/perjanjian pernikahannnya selama
tidak melanggar ajaran islam. Dia kemudian berhak atas suatu "perceraian
bersyarat" jika salah satu dari persyaratan tersebut tidak dipenuhi oleh
suaminya. Hasil dari perceraian tersebut dianggap final dan seorang suami tidak
boleh kembali kepada istrinya selama
tiga bulan masa 'iddah. Selama waktu ini pasangan dapat merevisi keputusan
mereka dan dapat menghidupkan kembali perkawinan mereka jika mereka telah
menyelesaikan perbedaan atau perselisihan diantara mereka.
Semua
Ulama sepakat bahwa semua perjanjian dalam perkawinan adalah sah, dan
pelanggaran terhadap perjanjian tersebut berarti membatalkan kesepakatan. Syekh
Abdullah al-Manii, anggota Dewan Ulama Senior Saudi, mengatakan bahwa seorang
wanita sah menceraikan suaminya setelah sang seuami melanggar syarat dalam
perjanjian perkawinan mereka yang salah satu poinnya adalah bahwa suaminya itu
tidak akan menikah dengan wanita lain selama mereka masih bersama.
Mengenai perwalian dalam pernikahan, kalau kita
merujuk kepada Madzhab Hambali, maka Wali dalam mazhab Hambali
hukumnya wajib, bahkan pernikahan dianggap tidak sah tanpa adanya wali. Seorang perempuan tidak dapat menikahkan dirinya sendiri baik atas izin walinya
ataupun tidak, demikian pula seorang perempuan tidak dapat menikahkan untuk
perempuan yang lainnya baik atas izin walinya ataupun tidak. Pernikahan
tersebut hukumnya fasid, kalaupun terlanjur pernikahan yang akadnya dilakukan
oleh pengantin perempuan sendiri, pernikahannya harus dipisahkan. Namun dalam
hal hukuman, mengingat pernikahan tersebut menjadi wacana perdebatan sehingga
tidak ada hukuman bagi pelaku pernikahan tersebut. Wali berurutan dari ayah,
kakek kemudian saudara. Pernikahan oleh wali yang lebih jauh, sedangkan wali
yang lebih dekat masih ada, menyebabkan pernikahannya batal.
Ibnu Qudamah dari Madzhab Hambali menyatakan, wali harus ada dalam
perkawinan (rukun nikah), yakni harus hadir ketika melakukan akad nikah. Menurutnya
hadits yang mengharuskan adanya wali bersifat umum yang berarti berlaku untuk
semua. Sedangkan hadits yang menyebutkan hanya butuh izin adalah hadits yang
bersifat khusus. Sehingga yang umum harus didahulukan dari dalil khusus. Ibnu
Qudamah berpendapat adanya hak ijbar wali untuk menikahkan gadis yang belum
dewasa, baik wanita tersebut senang atau tidak, dengan syarat sekufu. Sedangkan
menurut Ibnu Qayyim, persetujuan wanita harus ada dalam perkawinan[16].
Pada bulan April 2005, Mufti Abdul aziz al-Syaikh menyatakan bahwa pernikahan
paksa adalah pelanggaran terhadap syariah dan orang-orang yang bersalah
dari pelanggaran ini harus dihukum dengan hukuman penjara. Menurutnya,
kawin paksa merupakan faktor tingkat perceraian di negara ini terus
meningkat.[17]
Factor tersebut yang kemudian dikeluarkannya fatwa larangan kawin paksa.
Saudi Arabia tidak memiliki hukum khusus untuk
mengatasi masalah Usia pernikahan. Karena di Negara ini tidak di tetapkannya
Undang-Undang mengenai batasan minimal usia pernikahan, yang diterapkan
hanyalah hukum fikih yang sebenarnya yaitu seseseorang dapat menikah kapanpun
asalkan telah cukup memenuhi syarat dalam madzhab yang dianutnya, dimana
mayaoritas mereka bermadzhab Imam Hanbali. Pembatasan
demikian tidak ditemukan aturannya baik dalam Al-Quran, al-Hadist maupun
kitab-kitab Fiqih. Hanya saja para ulama mazhab sepakat bahwa baligh merupakan
salah satu syarat bolehnya perkawinan. Imam Malik menetapkan umur 17 tahun baik
bagi laki-laki maupun perempuan untuk dikategorikan baligh, sementara syafi’I
dan hanbali menentukan umur 15 tahun, sedangkan Hanafi yang membedakan batas
usia umur baligh bagi keduanya, yakni laki-laki 18 tahun sedangkan permpuan 17
tahun. Batasan ini merupakan batasan maksimal, sedangkan batasan minimal adalah
laki-laki 15 tahun dan perempuan 9 tahun, dengan alasan bahwa pada umur itu ada
laki-laki yang sudah mengeluarkan sperma dan ada perempuan yang sudah haid
sehingga bisa hamil.[18]
Begitu pula dengan masalah poligami, Saudi
Arabia tidak memiliki hukum khusus untuk mengatasi masalah ini. Tidak ada
batasan atapun tata cara yang khusus mengenai prosedur yang harusnya dilakukan
bagi para suami yang ingin berpoligami. Poligami diperbolehkan untuk pria
tetapi terbatas pada empat istri pada satu waktu. Bahwa praktek poligami telah meningkat, khususnya di
kalangan yang berpendidikan, sebagai akibat dari kekayaan minyak. Pemerintah
telah mempromosikan poligami sebagai bagian dari mengembalikan nilai-nilai
Islam. Pada tahun 2001, Grand Mufti (otoritas agama tertinggi) mengeluarkan
fatwa atau pendapat, menyerukan kepada wanita Saudi untuk menerima poligami
sebagai bagian dari paket Islam dan menyatakan bahwa poligami itu diperlukan
untuk melawan pertumbuhan epidemi perawan tua. Tidak ada usia minimum untuk
menikah di Arab Saudi dan Grand Mufti dilaporkan mengatakan pada tahun 2009
bahwa anak perempuan dari usia 10 atau 12 yang menikah.
2.
Perceraian
Pria memiliki hak unlilateral untuk menceraikan
istri mereka tanpa perlu dasar hukum. Istri bercerai dapat menuntut nafkah untuk jangka waktu empat bulan
dan sepuluh hari sesudahnya. Seorang wanita hanya dapat memperoleh perceraian
dengan persetujuan dari suaminya atau secara hukum jika suaminya telah
merugikan dirinya. Dalam praktek, sangat sulit bagi seorang wanita Saudi untuk
mendapatkan perceraian di pengadilan. Tingkat perceraian tinggi, sampai 50%. Dalam hal perceraian, ayah
memiliki hak asuh anak otomatis. Hak bagi
pria untuk menikah hingga empat istri, hal tersebut sesuai dengan kemampuan mereka. Mereka berhak
untuk menceraikan istri kapan saja tanpa sebab, bisa disebut dengan
poligami terbatas. Raja Abdul Aziz seorang pendiri negara, dilaporkan dilaporkan bahwa ia menikah
lebih dari dua ratus perempuan. Namun, poligami nya bahkan dianggap luar biasa oleh standar Arab Saudi.
3.
Hak
Asuh Anak dan Perwalian
Pihak ayah adalah pihak yang memegang hak utama
dalam kasus perceraian. Meskipun begitu, hakim dapat mempertimbangkan kesehatan
orang tua dalam pemberian perwalian, apabila seorang ayah yang ditunjuk untuk
menjadi orang tua yang mendapatkan perwalian anak sedang dalam kondisi yang
tidak sehat, maka kakek dan nenek dari pihak ayah adalah yang diserahi tanggung
jawab atas anak tersebut.
4.
Kewarisan
Saudi Arabia yang pada tahun 1966 membentuk
Departemen Wakaf. Departemen ini memiliki tugas utama untuk menangani berbagai
hal yang berhubungan dengan wakaf. Seperti membuat perencanaan, pengembangan
wakaf, dan memelihara serta mengawasi kelanggengan aset-aset wakaf dengan menyusun laporan lengkap dan rinci kepada pihak Kerajaan Saudi[19].
Saudi Arabia termasuk ke dalam Negara yang tidak menjadikan hukum kewarisannya
ke dalam undang-undang akan tetapi mereka mengatasi masalah waris mengacu
kepada Al-Quran dan As-Sunnah[20].
C.
Praktek Peradilan
Pasal 48 dari Undang Dasar menentukan bahwa
pengadilan yang akan berlaku aturan syariat Islam dalam kasus-kasus yang dibawa ke hadapan mereka, sesuai dengan apa yang ditunjukkan dalam al-Qur'an,
Sunnah, dan tata cara ditetapkan oleh Penguasa yang tidak bertentangan dengan al-Qur'an atau Sunnah. Pasal 46 menyebutkan kewenangan hakim dalam pernyataan bahwa pengadilan yang independen. Dasar Ordonansi menegaskan adanya dua cabang
yudisial, yaitu: Pengadilan umum syariah dan Dewan Keluhan. tapi komite khusus bersifat pasif di lapangan. Pengadilan syariah diberikan
yurisdiksi umum, kecuali perselisihan ini atau kejahatan jatuh di bawah
yurisdiksi. komite khusus yang
diciptakan untuk melaksanakan Nizam-nizam berada di luar cabang yudisial, mereka adalah entitas administratif ad hoc termasuk dalam cabang
eksekutif. Para ulama sering menentang pembentukan ini komite khusus dan sering menyerukan penggabungan wilayah hukum tersebut ke dalam pengadilan syariah. Namun, karena pengadilan syariah telah jelas
menunjukkan mereka tidak ingin menerapkannya.
Menurut Peraturan Kehakiman baru (2007), akan
ada tiga tingkat pengadilan syariah semua beroperasi di bawah pengawasan Dewan Peradilan Tertinggi, dalam urutan: contoh pengadilan pertama, diikuti
oleh pengadilan banding, dan akhirnya Mahkamah Agung baru. Sejak sistem baru belum sepenuhnya operasional, sistem saat ini akan dijelaskan di bawah, dengan mengacu pada beberapa perubahan penting
dibahas di organisasi peradilan baru.
Saat ini, ada tiga tingkatan pengadilan
syariah, semua dari mereka jatuh di bawah tanggung jawab Departemen Kehakiman,
dalam urutan:
dua jenis pengadilan tingkat pertama (pengadilan ringkasan dan umum
pengadilan), diikuti oleh pengadilan banding, dan akhirnya Dewan Yudisial Agung. Di pengadilan Singkatnya, hakim tunggal yang kompeten untuk memerintah di kedua sipil dan kasus kriminal.
dua jenis pengadilan tingkat pertama (pengadilan ringkasan dan umum
pengadilan), diikuti oleh pengadilan banding, dan akhirnya Dewan Yudisial Agung. Di pengadilan Singkatnya, hakim tunggal yang kompeten untuk memerintah di kedua sipil dan kasus kriminal.
D.
Kesimpulan
Arab
Saudi tidak hanya
memiliki sistem hukum yang unik, dibandingkan dengan sistem barat, tetapi juga dibandingkan dengan negara-negara Muslim lainnya. Saudi Arabia masih mengandalkan hukum yang uncodified. Ordonansi
dasar kerajaan (1992) menetapkan bahwa al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW merupakan
konstitusi Arab Saudi. Sistem pemerintahan Arab Saudi adalah monarki absolut,
dipimpin oleh Raja-raja Saud yang semuanya adalah keturunan dari Raja Abdul
Aziz al-Saud (wafat 1953). Mereka menempati posisi sebagai gubernur, menteri,
militer dan diplomatic di provinsi-provinsi. Sementara hukum yang ditetapkan
adalah hukum tanah, pemerintah juga mengeluarkan peraturan penting. Namun Hukum
Islam tetap merupakan titik pertama acuan dalam kasus-kasus hukum perdata,
pidana, kontrak sipil, property, dan lain sebagainya.
Hakim
menjadikan al-Qur’an, sunnah dan buku-buku fiqh sebagai sebagai sumber hukum
primer dalam mencari keadilan. Seorang hakim seperti semua ulaam harus
berkompeten dalam menafsirkan al-Qur’an dan Sunnah dalam memberikan suatu
penilaian dan saran. ulama juga diperkenankan untuk memberikan pendapat mereka tentang penerapan syariah dengan memberikan nasihat hukum
(fatwa).
Aliansi abad kedelapan belas antara kepala
suku, Muhammad ibn Saud dan ulama Muhammad bin Abd al-Wahhab dari Najd, adalah dorongan awal untuk
pembentukan negara Arab Saudi. Ibn Saud memenangkan loyalitas beberapa suku dan bersatu mereka menjadi kekuatan yang kuat; ia sangat dibantu dalam upaya ini dengan ajaran agama Ibn Abd al-Wahhab. Pengikut sekte Wahhabi berusaha untuk kembali ke masa awal Islam melalui ketaatan dan semangat Al-Quran dan Sunnah. Didukung oleh gerakan Wahhabi, Raja Saud menaklukkan sebagian besar semenanjung
dan doktrin Wahhabi menjadi dasar ideologis negara di masa depan.
Kekuasaan Saud telah didirikan pada tahun 1926 ketika Abdul aziz
Al-Saud dinobatkan menjadi raja Hijaz, daerah sekitar Mekah dan Medina. Pada tahun 1932, Najd dan Hijaz disatukan menjadi Kerajaan Arab Saudi. Tradisi Najd memiliki sistem peradilan di mana hakim tunggal diterapkan dengan aturan fiqh Hanbali di bawah pengawasan penguasa lokal. Di Hijaz, mazhab Syafi'i dan Hanafi lebih dominan, memiliki organisasi peradilan yang lebih modern, yang dikembangkan di bawah kekuasaan Ottoman. Butuh waktu sampai 1960, kesatuan sistem pengadilan syariah yang berlaku untuk seluruh negara bisa diimplementasikan. Konservatif ulama sangat kuat, terutama yang dari Najd, tetap tahan terhadap campur tangan negara dalam urusan agama, dan dalam urusan hukum. Inilah sebabnya mengapa Abdulaziz dan penerus harus melanjutkan dengan hati-hati dalam sentralisasi dan mereformasi sistem hukum.
Al-Saud dinobatkan menjadi raja Hijaz, daerah sekitar Mekah dan Medina. Pada tahun 1932, Najd dan Hijaz disatukan menjadi Kerajaan Arab Saudi. Tradisi Najd memiliki sistem peradilan di mana hakim tunggal diterapkan dengan aturan fiqh Hanbali di bawah pengawasan penguasa lokal. Di Hijaz, mazhab Syafi'i dan Hanafi lebih dominan, memiliki organisasi peradilan yang lebih modern, yang dikembangkan di bawah kekuasaan Ottoman. Butuh waktu sampai 1960, kesatuan sistem pengadilan syariah yang berlaku untuk seluruh negara bisa diimplementasikan. Konservatif ulama sangat kuat, terutama yang dari Najd, tetap tahan terhadap campur tangan negara dalam urusan agama, dan dalam urusan hukum. Inilah sebabnya mengapa Abdulaziz dan penerus harus melanjutkan dengan hati-hati dalam sentralisasi dan mereformasi sistem hukum.
Secara teknis, di bawah syariah klasik,
penguasa memiliki wewenang untuk mengumumkan regulasi kebijakan pemerintah (siyasah
shar'iyyah), asalkan mereka saling melengkapi, dan tidak bertentangan dengan, syariah dan mereka melayani kepentingan publik. Namun demikian, para ulama juga tetap enggan terhadap peraturan yang dikeluarkan
oleh negara untuk memerintah, dalam urusan tertentu, komersial
dan tenaga kerja. Sebagian ulama menentang peraturan dan hakim syariah menolak untuk menerapkannya. Raja terpaksa membuat
komite di daerah
khusus untuk menerapkan peraturan baru.
Bersama-sama dengan Dewan Keluhan (the Board of Grievances) tahun 1955
Peradilan administrasi yang berkompeten untuk mendengar keluhan dari warga
negara terhadap pemerintah, komersial dan beberapa kasus
kriminal yang ditentukan. komite tersebut pada kenyataannya menjadi
cabang kedua dari sistem peradilan, meskipun mereka
dianggap resmi sebagai bagian dari eksekutif.
Dari tahun 1970 sampai 1975, sistem pengadilan
terpadu dikembangkan lebih lanjut. Peraturan Yudikatif (1975) diberikan
yurisdiksi umum ke pengadilan syariah untuk memutuskan di semua
sengketa perdata dan pidana, kecuali dalam bidang hukum di mana komite khusus yang kompeten. Dewan Peradilan Tertinggi, di bawah kewenangan langsung dari raja,
mengambil tempatnya di puncak piramida peradilan, dengan
pengadilan banding di Riyadh dan Mekkah, dan pengadilan yang lebih
besar dan lebih kecil tersebar di seluruh negara.
Sementara itu posisi ulama, sebagai penasehat
kebijakan pemerintah,
selanjutnya dilembagakan pada tahun 1971 dengan berdirinya
Dewan Senior Ulama. Dewan ini telah berhasil diatasi, beberapa upaya reformasi yang dilakukan oleh pemerintah dan liberal Saudi, Misalnya dalam kaitannya dengan peningkatan posisi perempuan.
selanjutnya dilembagakan pada tahun 1971 dengan berdirinya
Dewan Senior Ulama. Dewan ini telah berhasil diatasi, beberapa upaya reformasi yang dilakukan oleh pemerintah dan liberal Saudi, Misalnya dalam kaitannya dengan peningkatan posisi perempuan.
Standar hidup ditingkatkan untuk Saudi, karena
pendapatan minyak melimpah di tahun 1970 an, tidak dapat menangkal suara pembangkang
yang berubah terhadap negara, mengklaim bahwa Saud telah
kehilangan legitimasi mereka sebagai penguasa yang benar karena gaya hidup
mewah dari beberapa pangerannya, korupsi, dan aliansi mereka dengan Barat.
pemberontakan internal bertepatan dengan revolusi Iran yang dipimpin
oleh Ayatollah Khomeini pada tahun 1979. Rezim Saudi memandang revolusi Syiah
dengan kecurigaan dan menanggapi sebagian yang mengintensifkan pekerjaan misionaris Wahhabi luar negeri. Arab Saudi adalah tempat lahirnya Islam dan wali dari dua tempat suci: Mekkah dan Madinah.
Dalam dekade berikutnya, keluarga kerajaan
dihadapkan dengan yang tantangan
lain, yaitu konsekuensi
keuangan dan politiknya Perang Teluk (1990-1991) dan penurunan pendapatan minyak, ketergantungan pada dukungan politik dan militer
Amerika Serikat, dan kurangnya partisipasi politik mendorong kritik yang berkembang dalam
masyarakat. Dari 1990 dan seterusnya, beberapa kelompok
termasuk kaum liberal pro reformasi, tetapi juga Muslim radikal, disampaikan petisi kepada raja meminta politik pembaruan.
Di bawah tekanan domestik dan internasional,
Raja Fahd melakukan
beberapa reformasi konstitusi pada tahun 1992. Ia mengumumkan Dasar
Ordonansi Kerajaan, yang menetapkan bahwa al-Qur’an Sunnah Nabi SAW adalah otoritas tertinggi dan semua undang-undang adalah bawahan nya.
beberapa reformasi konstitusi pada tahun 1992. Ia mengumumkan Dasar
Ordonansi Kerajaan, yang menetapkan bahwa al-Qur’an Sunnah Nabi SAW adalah otoritas tertinggi dan semua undang-undang adalah bawahan nya.
Raja Fahd membentuk Dewan Konsultatif baru. Dewan itu dibuat pada tahun 1992 dan sekarang menghitung 150 anggota dari strata
sosial yang berbeda, yang diserahkan untuk meletakkan peraturan kepentingan umum
dan sesuai dengan syariah. Untuk saat ini,
bagaimanapun, Dewan memiliki sedikit kekuasaan yang sebenarnya dan
itu belum bisa dilihat sebagai badan parlemen yang lengkap. Islam telah melakukan serangan berdarah
terhadap target asing sejak tahun 1990-an, dan berbagai
radikal dilarang negara, termasuk Osama Bin Laden.
Sementara itu, proses reformasi hukum terus.
Sejak akhir 1990, beberapa undang-undang baru yang
diumumkan, termasuk Peraturan Acara Pidana (2001) dan Peraturan Hukum Praktek (2001), yang keduanya bertujuan untuk mengatur proses pidana dan lebih baik menjaga hak-hak prosedural
terdakwa. Selagi 1975 organisasi peradilan masih beroperasi,
reformasi substansial yang mengumumkan pada musim gugur 2007. 2007
Peraturan Kehakiman Menetapkan sebuah Mahkamah Agung dan tingkat pertama dan
banding pengadilan baru yang terdiri dari ruang khusus untuk hukum keluarga, pidana, tenaga kerja, dan masalah-masalah hukum
komersial. Setelah sepenuhnya fungsional, Mahkamah Agung mengambil alih fungsi peradilan Dewan Pengadilan Tertinggi. Sebuah Peraturan baru Dewan
Keluhan, juga diumumkan pada tahun 2007, mengumumkan
pembentukan Dewan Pengadilan Administratif dan pengadilan administrasi banding. Sampai sekarang dualitas dalam sistem hukum Saudi tampaknya tetap menjadi ciri khas.
pembentukan Dewan Pengadilan Administratif dan pengadilan administrasi banding. Sampai sekarang dualitas dalam sistem hukum Saudi tampaknya tetap menjadi ciri khas.
Meskipun reformasi hukum telah disambut oleh
organisasi-organisasi internasional dan kelompok-kelompok hak asasi manusia,
kritik pada situasi hak asasi di Arab Saudi belum mereda.
Secara khusus, berikut masalah telah dihasilkan kritik keras baik di dalam
negeri dan luar negeri: posisi yang sangat dirugikan perempuan, diskriminasi
terhadap minoritas agama dan orang asing, kurangnya kebebasan beragama dan
kebebasan berekspresi, penyiksaan di penjara, intimidasi oleh polisi agama,
eksekusi hukuman fisik yang kejam seperti pemenggalan, rajam, gantung,
amputasi, dan memukul, dan meningkatkan frekuensi penggunaan hukuman mati, pada
tahun 2008 sekitar 102 orang dieksekusi.
Arus Raja Abdullah, seperti banyak pemimpin
tampaknya akan berjalan garis tipis antara kaum liberal reformis,
konservatif, tekanan internasional, kelompok masyarakat sipil, dan
para ulama. Dia telah hati-hati membuka partisipasi politik yang lebih. Mengingat
bahwa ia harus memperhitungkan dengan ulama konservatif dan kekuatan
tradisional dalam keluarga sendiri, antisipasi bahwa Arab Saudi akan bergerak
maju dalam
ranah Islam dan bergerak dengan lambat.
ranah Islam dan bergerak dengan lambat.
DAFTAR PUSTAKA
Eijk, Esther
Van. Sharia and National Law In Saudi Arabia dalam Buku Sharia
Incorporated a Comparative Overview Of The Legal Systems Of Twelve Muslim Countries In Past and Present.
Amsterdam: Leiden University,2010.
Mahmood, Tahir. Family law Reform in the Muslim World.
Bombay:N.M. TRIPATHI, PVT. LTD.1972.
Muzdhar, M.
Attho’ dan Khairuddin Nasution. Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern. Jakarta: Ciputat Pres, 2003.
Qudamah, Ibn. Al Kafi
fiqh Ahmad ibn Hanbal, kitab
nikah, Juz.3,Maktabah Syamilah,Vol. 2.
Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia
Islam, Jakarta: PT.Raja Grapindo Persada,2005.
[1]Tahir Mahmood, Family law Reform in the Muslim World, (Bombay:N.M.
TRIPATHI, PVT. LTD,1972), h.5.
[2]Esther Van
Eijk, Sharia and National Law In Saudi Arabia dalam Buku Sharia
Incorporated a Comparative Overview Of The Legal Systems Of Twelve Muslim Countries In Past and Present,
(Amsterdam: Leiden University,2010), h.142.
[3]Esther Van
Eijk, Sharia and National Law In Saudi Arabia,.h.143.
[4] Esther Van
Eijk, Sharia and National Law In Saudi Arabia,.h.143.
[5]Esther Van
Eijk, Sharia and National Law In Saudi Arabia,..h.144.
[6]Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia
Islam, (Jakarta: PT.Raja Grapindo Persada,2005),h.166
[7]Esther Van
Eijk, Sharia and National Law In Saudi Arabia,..h.147.
[8] Esther Van
Eijk, Sharia and National Law In Saudi Arabia,..h.148.
[9]Esther Van
Eijk, Sharia and National Law In Saudi Arabia,..h.149.
[10]Esther Van
Eijk, Sharia and National Law In Saudi Arabia,..h.150.
[11]Esther Van
Eijk, Sharia and National Law In Saudi Arabia,..h.152.
[12]Esther Van
Eijk, Sharia and National Law In Saudi Arabia,..h.154.
[13]Esther Van
Eijk, Sharia and National Law In Saudi Arabia,..h.155.
[14]Tahir
Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World,h.2-3.
[15]Esther Van
Eijk, Sharia and National Law In Saudi Arabia,..h.163.
[16]Ibn Qudamah, Al Kafi
fiqh Ahmad ibn Hanbal, kitab
nikah, Juz.3,(Maktabah Syamilah,Vol. 2),h. 9
[17]Esther Van
Eijk, Sharia and National Law In Saudi Arabia,..h.164.
[18]M. Attho’
Muzdhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern, (Jakarta:
Ciputat Pres, 2003), hal. 10.
[19]Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia
Islam,h.194.
[20]Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia
Islam,h.195.